Badan
arbitrase syariah nasional (Basyarnas)
BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah
Nasional) adalah sebuah lembaga yang berfungsi dalam penyelesaian sengketa
ekonomi syariah.
Sejarah basyarnas
MUI memprakarsai pendirian BMI pada
tahun 1991 sebagai Lembaga Keuangan Syariah pertama di Indonesia. Pendirian BMI
kemudian diikuti dengan Rakernas MUI tahun 1992 yang merekomendasikan pendirian
Badan Arbirtase Muamalat Indonesia (BAMUI) pada tahun 1993 yang dimaksudkan
untuk memberikan keputusan atas persengketaan yang mungkin terjadi antara pihak
yang terlibat dalam urusan muamalah.
Pada puncaknya, adalah Rakernas MUI
tahun 2002 yang merekomendasikan perubahan bentuk dan Organisasi BAMUI menjadi
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) pada tahu 2003 melalui SK MUI No.
Kep.- 09/MUI/XII/2003 Tanggal 24 Desember 2003.
Latar belakang
Kehadiran Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS) sangat diharapkan oleh umat Islam Indonesia, bukan saja
karena dilatar belakangi oleh kesadaran dan kepentingan umat untuk melaksanakan
syariat Islam secara kaffah, melainkan juga lebih dari itu adalah menjadi
kebutuhan rill sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi dan keuangan
dikalangan umat Islam pada khususnya dan penyebaran sistem ekonomi syariah pada
umumnya.
Karena
itu, tujuan pendirian Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sebagai
badan permanen dan independen yang berfungsi menyelesaikan kemungkinan
terjadinya sengketa (dispute) dalam urusan muamalat yang timbul dalam huungan
perdagangan, industri keuangan, jasa dan lain sebagainya dikalangan umat Islam
Indonesia.
Didalam
UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan belum diatur tentang bank syariah, akan
tetapi dalam menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa
bergerak cepat, kompetitif dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin maju
diperlukan penyesuaian kebijakan dibidang ekonomi, termasuk perbankan.
Untuk menjawab tantangan tersebut,
maka dibuatlah Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang perbankan yang mengatur
tentang perbankan syariah. Dengan Undang – Undang ini, pemerintah telah
melegalisir bank – bank yang telah beroperasi secara syariah. Kemudian
dilanjukan dengan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syaria yang menyediakan landasan khusus operasional bank
secara sistem syariah.
Dengan adanya bank – bank syariah
yang baru ini, dimungkinkan terjadinya sengketa antar pihak bank dan nasabahnya
sehingga Dewan Syariah Nasional perlu mengeluarkan fatwa – fatwa bagi lembaga
keuangan syariah, agar didapati kepastian hukum mengenai setiap akad pada
perbankan syariah, dimana pada setiap akad akan dicantumkan klausula arbitrase
yang berbunyi :
“Jika
salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
diantara para pihak maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase
Syariah setelah tidak tecapai kesepakatan melalui musyawarah.”
Pengertian Arbitrase
Arbitrase berasal dari kata arbitrase
(Latin) atau arbitrage (Belanda) yang berarti suatu kekuasaan untuk
menyelesaikan penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh seorang atau beberapa
orang arbiter atas dasar kebijaksanaanya dnan para pihak akan tunduk pada atau
mentaati putusan yang diberiakn oleh arbiter yang mereka pilih / tunjuk.
Dalam
memberikan putusannya, para architer tetap akan menerapkan (dasar – dasar)
hukum seperti halnya yang dilakukan oleh hakim di pengadilan. (R. Subekti,
1992:1)
(a)
Abdulkadir
Muhammad mengatakan : “Arbitrase adalah badan peradilan swasta diluar
lingkungan peradilan umum yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase
adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak
– pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan
Negara merupakan kehendak bebas pihak – pihak . kehendak bebas ini dituangkan
dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum dan sesudah terjadi sengketa
sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata. (Abdulkadir
Muhammad dalam A. Rahmat Rosyadi, 2001: 68).
Penyelasaian perselisihan melalui
sistem arbitrase dimaksudkan untuk penyelesaian secara damai terhadap sengketa
keperdataan atas dasar keahlian oleh orang – orang yang disepakati / ditunjuk
oleh kedua belah pihak yang bersengketa sebagai arbiter. Para arbiter pada
umunya adalah orang – orang yang ahli dalam bidangnya.
(b)
Arbitrase
adalah suatu cara penyelesaian sengketa yang jauh dianggap lebih baik daripada
penyelesaian melalui saluran – saluran biasa (Sudargo Gautama)
(c)
UU
no.30/1990, pasal 1 ayat (1), arbitatrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secar tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Lembaga hakam (Dalam
Fiqih)
Dalam khazanah fiqih, aktivitas
arbitrase ini dikenal dengan lembaga Hakam (juru perdamaian) yang membantu
menyelesaikan permasalahan dan sengketa yang timbul diantar para pihak baik
dalam masalah – masalah perdata.
Hakam
berasal dari kata akar kata: (h – k – m) yang berarti pihak yang memberikan
keputusan hukum atas suatu permasalahan karena pengetahuan, keahlian, pemahaman
ilmu agama dan pengalamannya yang luas disamping kepribadiannya yang dikenal
luas sebagai seorang yang jujur.
Dasar Hukum Arbitrase
Syariah
1.
Undang
– undang No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternative penyelesaian
sengketa.
2.
Al
Quranul Hakim
Artinya : “Dan kalau ada dua golongan
dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!
Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang
melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan
hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang – orang yang
berlaku adil.” (QS Al – Hujurat 49 : 9).
Artinya : “ Dan jika kamu khawatirkan
ada persengketaan antar keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga
laki – laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam
itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami –
istri itu. sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS An –
Nisaa 4 : 35).
3.
Hadits
Nabi Muhammad saw
Artinya : “Ketika Abu Syuraih datang
menghadap Rasulullah saw beliau bertanya: mengapa orang – orang memanggilmu Abu
Al – Hakam (pihak yang memberi keputusan hukum)? Padahal Allah – lah yang
menetapkan hukum”. Jawab Syuraih: “Sesungguhnya kaumku apabila bertengkar mereka
datang meminta penyelesaian dan kedua belah pihak akan rela dengan
keputusanku!. Jawab Nabi saw: “Alangkah baiknya perbuatan itu!. (HR. Abu Daud).
Dari Abu Hurayyah ra bahwa Rasul saw
berkata: “ Ada seorang lelaki membeli sebidang tanah dari seseorang, kemudian
pembeli tersebut menemukan sebuah gguci berisi emas. Pembeli kemudian
menyerahkan guci emas tersebut kepada penjual seraya berkata: “Ambilah emasmu
ini karena saya hanya membeli tanahnya saja”. penjual menjawab: “ Saya telah
menjual tanah dan semua isi yang ada didalamnya”. Keduanya perg kepada seorang ahli (hakam)
dimana dia meminta kepada para pihak untuk menikahkan putra – putrinya dengan
uang tersebut dan sisanya digunakan untuk sedekah kepada fakir miskin”. (HR.
Imam Bukhari).
Ketika Umar bin Khattab ra membeli
seekor kuda dan ketiak kuda tersebut dicoba oleh Amirul Mu’minin ra kemudian
kaki kuda tersebut terluka dan kemudian terjadilah sengketa antara beliau dan
penjual. Maka ditunjuklah Abu Syureikh sebagai arbiter dimana beliau memutuskan
bahwa Amirul Mu’minin harus membayar penuh harga kuda tersebut, dan beliau pun
menerima putusan tersebut dengan lapang dada.
Dalam catatan sejarah hukum Islam,
para arbiter / hakam yang terkenal diantaranya: Rabi ibn al Dzib, Akstam bin
Shifi, Amr bin Zharib al ‘Adawani, Umaiyyah bin Abi Ash Shilat, dll. Semula
para arbiter itu bersidang di bawah tenda – tenda yang didirikannya. Setelah
Qushai bin Kaab membangun gedung di Mekkah yang pintunya menghadap ke Ka’bah,
maka di gedung itulah siding – siding arbitrase / hakam dilaksanakan. Gedung
itu kemudian hari dikenal dengan sebutan Dar Addakwah.
Sistem arbitrase / hakam ini
mengalami perkembangannya terutama dimasa Khilafah Umar bin al Khattab rad an
khalifah – khalifah berikutnya. Pada masa itu pula telah dikarang buku
bertajuk: “Risalah al Qada’ (pokok – pokok pedoaman beracar di pengadilan)
karya Abu Musa al Asy’ari (A. Rosyadi & Ngatino, 2002:52).
Dipenghujung
masa khulafa Rasyidun sistem hakam / arbitrase ini tidak hanya menyelesaikan
sengketa – sengketa bisnis / perdagangan akan tetapi menyelesaikan pula masalah
– masalah politik dan peperangan.
Tujuan BASYARNAS
1. Menyelesaikan perselisihan / sengketa
– sengketa keperdataan dengan prinsip mengutamakan dan mempertemakan perdamaian
/ islah.
2. Memberikan penyelesain secara adil
dan cepat dalam sengketa – sengketa muamalah / perdata yang timbul dalam bidang
perdagangan, industry, jasa dan lain sebagainya.
3. Atas permintaan para pihak dalam
suatu perjanjian, dapat memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu
persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.
4. Menyelesaikan sengketa – sengketa
perdata diantara bank – bank / lembaga keuangan syariah dengan nasabah / mitra
kerjanyaa yang menjadikan syariah Islam sebagai dasarnya.
Sistem persidangan
Prinsip
perdagangan dalam Basyarnas:
a.
Pemeriksaan
masalh dilakukan oleh Majelis Arbiter.
b.
Sederhana
dan penuh kekeluargaan guna mencapai kesepakatan penyelesaian sengketa secara
adil, bijaksan dan disepakati bersama.
c.
Siding
dilaksanakan secara tertutup.
d.
Penyelesaian
masalh mengutamakan prinsip damai / islah.
e.
Jika
perdamaian tidak tercapai, proses pemerksaan dilanjutkan sebagaiman halnya pemeriksaan
di pengadilan resmi dengan memberikan kesempatan kepada para pihak secara adil
/ seimbang.
f.
Putusan
diambil atas dasar musyawarah Majeli Arbiter dengan mengindahkan tuntunan
Syariat Islam.
Beberapa manfaat
arbitrase syariah
Diantara
kelebihan sistem arbitrase adalah:
1.
Proses
/ pelaksanaan persidangan bersifat sederhana, penuh dengan rasa kekeluargaan
dan mengutamakan penyelesaian secara damai / islah.
2.
Proses
persidangan dilaksanakan secara tertutup untuk umum (confidential), sehinggan
semua rahasia / aib para pihak tidak diketahui oleh publik, hal ini berbeda /
kebalikan dengan dilingkungan pengadilan umum.
3.
Para
arbiter / anggota majelis arbitrase yang menganin perkara bisa disesuaikan
antar poko persengketaan dengan keahliab arbiternya. Hal ini tentu tidak
terjadi di libnkunag pengadilan umum / pengadilan agama.
4.
Seluruh
proses pemeriksaan sejak penunjukan arbiter hingga putusan harus sudah selesai
dalam tempo 180 hari (6 bulan). Diharapkan prinsip efisien waktu, tenaga dan
biaya dapat dicapai.
5.
Putusan
arbitrase bersifat ‘final and binding’ (final dan mengikat), tidak ada banding
dan kasasi – singkat, cepat dan efisien. Efisien sangat dihargai dalam semua
urusan, khususnya dalam dunia perniagaan.
6.
Putusan
arbitrase mempunyai kekuatan eksekutorial. Putusan arbitrase, apabila tidak
dilaksanakan dengan sukarela, maka eksekusi putusannya dilaksanakan dengan
perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan salah satu pihak – seperti
putusan perdata pada lembaga peradilan pada umumnya.
Pengadilan agama
Pasal 25 ayat (4) UU RI No. 30/1999 Tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dimana putusan Artbitrase harus didaftarkan
ke Pengadilan Negeri dalam tempo paling lama 30 hari terhitung sejak keputusan
dibacakan.
Maka dengan lahirnya UU RI No. 3 /2006 Tentang
Perubahan Atas UU No. 7/1989 Tentang Peradilan Agama yang telah diundangkan
pada 20 Maret 2006 dan telah ditempatkan dalam Lembaran Negara RI Tahun 2006
Nomor 22 dimana kewenangan (jurisdiksi) Peradilan Adama diperluas yang diatur
dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 yang berbunyi sebagai berikut :
“Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
ditingkat pertama antar orang – orang yang beragama Islam di bidang :
-
Perkawinan
-
Waris
-
Wasiat
-
Hibah
-
Wakaf
-
Zakat
-
Infaq
-
Shadaqoh
-
Ekonomi
Syariah
Dalam penjelasan resmi pasal tersebut
dijelaskan bahwa : yang dimaksud dengan ‘ekonomi syariah’ adalah perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah antara lain meliputi :
Bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi
syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat
berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pegadaian syariah, dana
pension lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah.
Yurisdiksi
(kewenangan) Basyarnas
Yurisdiksi Basyarnas meliputi :
a.
Menyelesaikan
secara adil dan cepat sengketa muamalat / perdata yang timbul dalam bidang
perdagangan, keuangan, industry, jasa dan lain – lain yang menurut hukum dan
peraturan perundang – undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa
dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada
Basyarnas sesuai dengan peraturan prosedur Basyarnas.
b.
Memberikan
pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa ada sengketa mengenai
suatu persoalan dalam sebuah perjanjian (peraturan prosedur Basyarnas, Bab 1
Pasal 1).
1 komentar:
Bagus, sayang banyak typing error.
Posting Komentar